KEARIFAN LOKAL

“Menuju DAD Yang Modern Dan Mandiri Dengan Spirit Kearifan Lokal Dalam Bingkai NKRI" : Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata"(Adil Terhadap Sesama, Hidup Baik Pada Jalan Kebenaran, Taat Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)

Minggu, 23 November 2014

Ringkasan Sejarah Pakat Damai Tumbang Anoi 1894




RINGKASAN
SEJARAH  RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI
TAHUN 1894

Oleh.
T.T. Suan
Ahim S Rusan
Kumpiady Widen

I.   PENGANTAR
          Naskah Ringkasan Sejarah Rapat Damai Tumbang Anoi Tahun 1894 ini disusun sesuai dengan Surat Tugas dari  Panitia Tumpung Hai Pakat Dayak Kalimantan Tengah dan Napak Tilas Rapat Damai Tumbang Anoi, No. 28/MADN/IX/2014    tgl. 20 September 2014. Dengan segala keterbatasan, Tim berupaya memenuhi permintaan tersebut. Naskah ini terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
I.             Pengantar
II.           Kalimantan Tengah pada Abad ke 19.
III.         Persiapan Rapat Damai Tumbang Anoi.
IV.          Pembukaan dan Pelaksanaan Rapat Damai Tumbang Anoi.
V.            Hasil-hasil Rapat Damai Tumbang Anoi Tahun 1894.
VI.          Penutupan Rapat Damai Tumbang Anoi.
VII.        Penutup.
         
Bagian VII merupakan refleksi dari Tim mengenai nilai-nilai yang dapat dipetik dari Rapat Damai Tumbang Anoi 1894 tersebut.
Akhirnya atas segala kekurangan dalam Ringkasan ini, Tim  meminta maaf dan terima kasih kepada Panitia yang telah mempercayakan tugas ini kepada kami.

II. KALIMANTAN TENGAH PADA ABAD KE 19
          Ketika berakhirnya pendudukan colonial Inggris di Indonesia pada tahun 1817,  Pemerintah Hindia Belanda kembali menduduki Banjarmasin. Pemerintah Hindia Belanda memaksa Kesultanan Banjar agar menyerahkan secara tertulis wilayah-wilayah yang secara tidak langsung dikuasai oleh Kesultanan Banjar kepada Pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu Sultan Sulaiman (Sultan Banjar)  menandatangani Persetujuan Karang Intan 1-1-1817 dan dilakukan di hadapan Residen J.D.J. Aernoud van Boekholzt. Dalam Persetujuan Karang Intan Pertama(1-1-1817) telah dipertegas bahwa kawasan yang disebut wilayah Dayak itu adalah Dayak Besar dan Dayak Kecil (de Grote en Kleine Dajak).
Persetujuan Karang IntanPertama kemudian mengalami beberapa perubahan, peralihan dan penyempurnaan pada 13-9-1823, sehingga berubah menjadi Persetujuan Karang Intan Kedua di depan Residen Mr. Tobias. Dengan dibuatkannya persetujuan Karang Intan Kedua tersebut di dalamnya ditulis secara tegas kawasan-kawasan yang diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda yaitu: Fort Tatas, Kween, Kutai, Berau, Pulau Laut, Pasir, Taboniau, Pegatan, Sampit dan seluruh daerah taklukannya (daerah di bawah pengaruh Kesultanan Banjar), yakni, sesuai dengan nama kawasan yang pernah diserahkan kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812 yang ditandatangani oleh Sultan Sulaiman dan Residen Inggris Alexander Hare.
Berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua itu pula  maka wilayah yang oleh Belanda disebut Dajaksche Provintien (wilayah Provinsi Dayak) meliputi kawasan-kawasan Kapuas, Kahayan, Dusun, Pembuang (Seruyan), Katingan, Sampit, Kotawaringin dan Jelaiserta kawasan-kawasan Mendawai, Sampit, Jelai, dan Kotawaringin. Sejak tahun 1823 Pemerintah Hindia Belanda mulai mengurus Wilayah Dayak yang berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua dan tidak lagi berada di bawah pengaruh Kesultanan Banjar.
Dengan berlakunya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1823 di daerah yang disebut Dajaksche Provintien ternyata kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda tidaklah berjalan mulus dan efektif karena daerah yang diklaim sebagai daerah jajahan Belanda di Kalimantan adalah sangat luas. Akibatnya aparatur kekuasaan Pemerintah HindiaBelanda masih belum mampu menjangkau seluruh wilayah tersebut, terutama daerah pedalaman Suku Dayak.

III. PERSIAPAN RAPAT DAMAI  TUMBANG ANOI
Dengan kondisi Pemerintahan Hindia Belanda seperti tersebut di atas, kondisi masyarakat Dayakmenjadi semakin tidak terurus. Kondisi demikian diperparah lagi karena masih sering terjadi peperangan dan pembunuhan diantara suku Dayak, yang oleh Johnly Friady disebut dengan 3H (Hakayau, Habunu, Hatetek).  Untuk menghentikan 3H tersebut, Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 September1893 mengeluarkan Surat Kuasa guna menugaskan para Resident Afdeling Bagian Barat dan Resident Afdeling Bagian Selatan dan Resident Afdeling Timur Kalimantan, melalui Controleur Afdeling Tanah Dayak dan Controleur Afdeling Bagian Melawi untuk mengadakan pertemuan dengan Kepala-Kepala Adat Melayu dan Dayak serta dengan pihak-pihak terkait. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk memeriksa dan sedapat mungkin menyelesaikan berbagai kasus peperangan dan pembunuhan serta perkara-perkara lainnya yang sering terja di dalam masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan adat, serta menghindari timbulnya sengketa-sengketa baru yang melibatkan masyarakat di masing-masing wilayah.
Menurut penuturan lisan dari almarhum Pendeta A.R. Nyaring bahwa pada tanggl  14 Juni 1893 di Kuala Kapuas, atas prakarsa Residen Banjarmasin diundang para kepala suku/tokoh adat untuk membicarakan bagaimana caranya agar diselenggarakan perdamaian di antara suku-suku Dayak yang saling bermusuhan. Pertemuan tersebut membahas, antara-lain:
(1)   Memilih siapa yang sanggup dan mau menjadi ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah penyelenggaraan Perdamaian tersebut.
(2)   Menetapkan tempat penyelenggaraan.
(3)   Menetapkan kapan waktu penyelengaraan.
(4)   Menetapkan lamanya siding damai itu bisa dilaksanakan.

Setelah Residen Banjar berkali-kali bertanya kepada para Kepala Suku dan tokoh yang hadir, siapa yang sanggup untuk menjadi ketua pelaksana dan sekaligus menjadi tuan rumah pelaksanaan Rapat Damai tersebut, hanya Damang Ribu, yang dikenal juga dengan nama Damang Batu yang berani  menyanggupinya.
Dengan demikian pertemuan awal tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu:
(1)   Damang Ribu, atau Damang Batu ditetapkan sebagai Ketua Pelaksana Rapat Damai.
(2)   Tempat Rapat Damai diLewuTumbang Anoi, yang merupakan kedudukan dari Damang Batu.
(3)   Waktu Rapat Damai, dilaksanakan tahun 1894, untuk waktu lebih-kurang  3 bulan.
(4)   Undangan disampaikan melalui para Kepala Suku dan tokoh masing-masing daerah.
(5)   Utusan/peserta Rapat haruslah tokoh atau kepala suku yang mengetahui adat-istiadat didaerahnya masing-masing.
Dalam Laporan dari Controleur Afdeling Tanah Dayak disebutkan agar masing-masing Kepala Adat memperhatikan kesulitan tansportasi, keterbatasan perbekalan (logistik) di perjalanan dan selama persidangan,  sehingga tidak perlumembawa  rombongan yang besar, kecuali orang-orang yang memenuhi syarat saja ke Tumbang Anoi. Disebutkan pula bahwa Pemerintah Hindia Belanda ikut mendukung penyediaan bahan makanan bagi peserta Rapat Damai ini.Rapat di Kuala Kapuas ini dihadiri oleh 71 orang tokoh adat.
Setelah selesai mengikuti rapat pendahuluan tersebut di Kuala Kapuas, Damang Batu langsung kembali ke Tumbang Anoi dan menyampaikan undangan secara lisan kepada masyarakat yang ada di wilayahnya mulai dari desa Tumbang Miri dan sepanjang sungai Miri, sepanjang sungai Hamputung dan sepanjang sungai Kahayan dari Tumbang Miri sampai Lawang Kaang (Tumbang Dongoi) di hulu Kahayan yang kesemuanya memang mempunyai jaringan hubungan keluarga dengan DamangBatu.
Di samping itu Damang Batu melakukan persiapan-persiapan bersama warganya antara-lain membangunan pondok di hulu dan hilir  Tumbang Anoi dan juga di seberang lewu Tumbang Anoi bagi para tamu dan undangan rapat. Selama sekitar lima bulan Damang Batu  melakukan berbagai persiapan secara gotong royong bersama warganya, diantaranya sosialisasi kepada warganya, mengumpulkan sumbangan bahan makanan dari penduduk di wilayah Sungai Kahayan hulu, sepanjang sungai Miri, dan sepanjang sungai Hamputung.  Damang Batu sendiri telah menyiapkan 100 ekor kerbau miliknya untuk penyediaan daging selama rapat.
Dalam kepanitiaan, selain terdiri dari bapak-bapak tokoh masyarakat Tumbang Anoi dan sekitarnya, juga melibatkan pihak perempuan (Nyai). Tercatat paling tidak ada 11 perempuan yang menjadi anggota Panitia dari Rapat Damai ini, diantaranya Nyai Rantai yang adalah isteri dari Damang Ribu/Damang Batu  sendiri.
Dari pihak Belanda sendiri, dipimpin oleh Controleur Tanah Dayak Kapuas dan Controler Melawi Nanga Pinuh, dengan  menggunakan transportasi sungai dan kadang-kadang dengan berjalan kaki, tiba di lewu Tumbang Anoi sebelum Acara Pembukaan.
Dalam Laporan dari Controleur Afdeling Tanah Dayak disebutkan bahwa Controleur Tanah Dayak tiba di lewuTumbang Anoi pada tanggal 8 Mei 1894, sedangkan Controleur Melawi, karena  mengalami berbagai hambatan dalam perjalanan, baru sampai lewuTumbang Anoi tanggal 20 Mei 1984.
Untuk menetapkan Pedoman dalam menangani perkara-perkara yang akan diajukan dalam Persidangan Adat, pada tanggal 21 Mei 1894 dilakukan rapat yang dihadiri oleh 2(dua) orang Controleur yang sudah tiba di Tumbang Anoi, juga dihadiri oleh Yang Mulia Penembahan Sintang dan kedua Kepala Distrik dari Afdeling Tanah Dayak.
Adapun Pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
(1)   Bahwa perkara-perkara yang akan disidangkan adalah perkara-perkara yang usianya maksimal 30 tahun. Namun demikian perkara-perkara penting yang kejadiannya sudah melewati masa 30 tahun masih dapat disidangkan apabila ternyata pihak tergugat dalam waktu 30 tahun telah memberi kepada penggugat suatu turus/piturus berupa tanda bahwa ia bersedia untuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai.
(2)   Bahwa pihak penggugat agar mengajukan gugatannya/menyampaikan informasi mengenai tujuan dan pokok perkara, waktu dan tempat kejadian perkara kepada sidang dalam waktu 40 (empat puluh) hari terhitung tanggal pembukaan persidangan.
(3)   Untuk menyampaikan gugatan disediakan fasilitas-fasilitas yang luas; semuapihak bebas untuk menyampaikan suatu surat permohonan kepada kedua Controleur atau menyampaikan gugatan secara lisan kepada Juru Tulis Indonesia yang diperbantukan kepada para Controleur, yang akan memasukkan gugatan tersebut dalam suatu daftar khusus.
(4)   Karena beberapakendaladalam memanggil semua tergugat dan saksi-saksi dari daerah-daerah yang terpencil maka apabila sudah berakhir masa 40 hari tersebut di atas, para tergugat tidak dapat dihadirkan, maka keputusan persidangan tanpa kehadiran tergugat apabila gugatan tersebut menurut pendapat persidangan didukung oleh dasar-dasar yang kuat, dianggap terbukti dengan meyakinkan.
(5)   Mengenai perkara-perkara yang akan ditangani dan diselesaikan ditentukan sebagai berikut:
a.    Perkara-perkara Pembunuhan:
1). Berupa hasil serangan untuk pemenggalan kepala.
2). Pengorbanan manusia:
 a). Pembunuhan yang berdiri sendiri.
 b). Pembunuhan berupa balas dendam.
 b. Orang yang ditawan
 c. Perkara-perkara perampokan.
 d. Perkara-perkara pernikahan dan masalahwarisan.

IV. PEMBUKAAN DAN PELAKSANAAN RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI.
          Setelah ditentukan Pedoman yang secara garis besarnya disebut di atas, pada tanggal 22 Mei 1894 dilakukan acara Pembukaan di lapangan luas di depan rumah Damang Batu. Dalam kesempatan itu disampai Pidato Pembukaan oleh Kontroleur Tanah Dayak yang diterjemahkan kedalam bahasa Dayak oleh Kepala Distrik Dayak Kecil Raden Johanes Karsa Negara. Acara pembukaan ini ditandai dengan 21 kali tembakan kehormatan.
Dari catatan Damang Pijar, Kepala Adat Kahayan Hulu, jumlah tokoh adat yang hadir dalam pertemuan ini sebanyak 136 orang, sedangkan jumlah suku yang diundang mencapai 152  kepala suku/kepala adat.
Jumlah kepala adat dan tokoh yang datang serta mereka yang datang untuk mengajukan perkara-perkara dari hari ke hari bertambah. Satu bulan setelah persidangan dibuka, lebihkurang 830 orang hadir dilewu Tumbang Anoi. Jumlah ini belum termasuk masyarakat lewu Tumbang Anoi dan sekitarnya.
Persidangan di buka setiap hari kecuali hari Minggu, dimulai pukul 8.00 pagi sampai pukul 13.00 siang. Pada malam hari oleh Damang Batu dilangsungkan acara hiburan antara lain Kanjan, Manasai, Tari Mandau, Kandan dan Parung, sehingga terjalin rasa persaudaraan antar suku.
Berdasarkan data yang ada, Rapat Damai yang dilangsungkan selama tiga bulan terdapat sebanyak 233 perkara yang sempat diproses dalam sidang. Dari 233 perkara tersebut hanya 152 perkara yang dapat diselesaikan secara tuntas, sedangkan 81 perkara tidak dapat dipetimbangkan untuk ditangani dan diselesaikan. Proses sidang berjalan dengan baik, demikian pula tata tertib yang telah disepakati tidak pernah diprotes atau diganggu.

V. HASIL-HASIL RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI 1894
          Bagi Suku Dayak, hasil Rapat Damai Tumbang Anoi itu sangat  penting, karena  dalam  keputusannya, menghentikan segala perselisihan di kalangan mereka: Hasang – Hakayau – Habunu – Hajipen (Sejarah Kalimantan Tengah, 2005).
          Hasil Rapat Damai Tumbang Anoi, Tahun 1894 tsb.dapat diringkas menjadi sembilan butir keputusan penting(Sejarah Kabupaten Kapuas, 1981, hal. 33-34), yaitu:
(1). Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda;
(2). Menghentikan kebiasaan perang antar sukudanantardesa
(3)  Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga;
(4)  Menghentikan kebiasaan adat mangayau;
(5)  Menghentikan kebiasaan adat perbudakan;
(6)  Pihak Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalamlingkup pemerintahan lokal tradisional mereka;
(7)  Penyeragaman hukum adat antar suku;
(8)  Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu  pemukimantertentu;
(9) Mentaati berlakunya penyelesaian sengketa antar penduduk maupun antar kelompok yang diputuskan  oleh Rapat Adat Besar yang khusus diselenggarakan selama  Rapat Damai  iniberlangsung.


VI. PENUTUPAN RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI.
          Jumlah penduduk termasuk para pedagang dari berbagai tempat yang hadir terus meningkat, dan sampai dengan pada saatpenutupan, diperkirakan lebih dari 1000 orang berkumpul di lewu Tumbang Anoi.
Rapat Damai Tumbang Anoi ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dalam suatu upacara di depan rumah Damang Batu. Sehari kemudianya itu tanggal 25 Juli 1894, semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan SUMPAH PERDAMAIAN, bahwa mereka selanjutnya dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam upayauntuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

VII. PENUTUP
Rapat Damai Tumbang Anoi, atau apapun sebutannya, yang dilaksanakan 120 tahun yang lalu (1894-2014) di Lewu Tumbang Anoi, merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dan menentukan eksistensi dan masa depan kehidupan orang Dayak di pulau Kalimantan. Secara politis, Rapat Damai Tumbang Anoi 1894 merupakanTonggak Peradaban untuk Belom Bahadat dan awal Kebangkitan Identitas Kolektif Orang Dayak. Demikian juga Integrasi Sosial di kalangan masyarakat Dayak yang beragam suku, budaya, bahasa dan Daerah Aliran Sungai (DAS) pun dapat diwujudkan melalui Rapat Damai Tumbang Anoi.
Secara sosial dan budaya, Rapat Damai Tumbang Anoi mewariskan kepada kita semua nilai-nilai Musayawarah dan Kekeluargaan dalam menyelesaikan berbagai sengketa atau perkara dalam masyarakat. Solidaritas Sosial dan budaya Gotong Royong (Handep Hapakat) merupakan nilai toleransi dan keperdulian sosial (empati) yang sangat menentukan kelancaran dan keberhasilan Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894 lalu
Harapan kita semua, semoga nilai-nilai sosial-budaya, ekonomi dan politik yang  melekat dalam Rapat Damai Tumbang Anoi 120 tahun yang lalu dapat kita wariskan dan kita wujudkan dalam kehidupan kolektif seluruh masyarakat Kalimantan Tengah dewasa ini dan masa akan datang.


Sumber Bacaan:

Abdurrahman. 1994. Satu Abad Musyawarah Perdamaian TumbangAnoi(1894-1994). Makalah bandingan pada  Seminar peringatan Seratus tahun Rapat Damai Tumbang Anoi, UniversitasPalangka Raya, di Palangka Raya, 25 Mei 1994.

Friady, Johnly. 1983. Sejarah Singkat Damang Batu, Betang dan Perdamaian Tumbang Anoi 1894. Naskah tidak diterbitkan.

Kerjasama Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dan Borneo Institute, 2013, Hapakat Manggatang Utus, Dari Kalimantan Mencari Identitas.

Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya, 2005, Sejarah Kalimantan Tengah  (Edisi I).

Residen Kalimantan Afdeling Barat, 1894, Laporan dari Controleur Afdeling Tanah Dayak Residensi Kalimantan Afdeling Selatan dan Timur dan Afdeling Bagian Melawi (Afdeling Sintang, Residens iKalimantan Afdeling Barat), mengenai Pertemuan di Toembang Anoei, diterjemahkan oleh JM Nainggolan, 1986.

Usop, KMA. 1994. Musyawarah se Kalimantan Pertama: Rapat Damai Tumbang Anoi.  Misi Sejarah dan Budaya. Makalah pada Seminar peringatan Seratus tahun Rapat Damai Tumbang Anoi.   Universitas Palangka  Raya, di Palangka Raya, 26 Mei 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar